Dikutip dari tulisannya: Andi Rinto P. W., S.Hut.
I. Pengertian Lahan Kritis dan Silvikultur
Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal
karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada
akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian,
pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Djunaedi, 1997).
Lahan kritis juga disebut sebagai lahan marginal yaitu lahan yang
memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang
mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor lingkungan
yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu,
kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor
pembatas pertumbuhan tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka
tumbuhan juga akan sulit untuk hidup (dalam keadaan tercekam).
Silvikultur adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pembangunan dan
pemeliharaan hutan dengan mendasarkan pada pengetahuan silvika sehingga
komposisi, struktur, dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan.
II. Latar Belakang Masalah
Pengantar
Whitmore (1984) mengatakan bahwa : Hutan tropis Indonesia dikenal
merupakan hutan yang paling kaya akan jenis dan ekosistem yang
terkompleks di dunia. Indonesia yang luas wilayahnya hanya 1.3 % dari
luas permukaan bumi, memiliki :
1.Flora berbunga yang banyaknya 10 % dari jenis flora berbunga dunia,
2.Mamalia mempunyai 12 % dari jenis mamalia dunia,
3.Burung 17 % dari burung yang ada di dunia,
4.Ikan mempunyai 25 % dari jenis ikan di dunia (Myers. 1988; McNeely et
al, 1990; Ministry of National Development Planning, 1997; Soekotjo dan
Hani’in, 1999).
Laju kerusakan hutan yang disebabkan oleh berbagai faktor diprediksikan
telah mencapai 1.6 juta hektar per tahunnya. Apabila hal ini dibiarkan
maka menurut Witular (2000) hutan alam tropika di Sumatera akan habis
pada tahun 2005, sedangkan di Kalimantan akan habis pada tahun 2010.
Sementara menurut inventarisasi Depertemen kehutanan 2003, luas lahan
kritis di Indonesia sekitar 43 juta hektar, dengan laju kerusakan hutan
sekitar 3,5 juta hektar per tahun.
Kebutuhan bahan baku industri sekitar 58.87 juta m3/tahun, sedangkan
pemenuhan kayu yang diproduksi dari hutan alam, hutan rakyat, HTI dan
PT Perhutani selama 5 tahun terakhir hanya sekitar 25 juta m3/tahun.
(Direktorat Produksi Hasil Hutan, 2000). Emil Salim (2005) mengatakan
bahwa kebutuhan kayu di Indonesia sekitar 60 – 70 juta m3 setahun,
sementara kayu yang bisa ditebang secara lestari dari hutan kita (alam,
HTI dan Hutan Rakyat) hanya sekitar 20 juta m3/tahun. Sementara ilegal
logging terus berjalan. Jadi mau tidak mau kita harus menanam dan tidak
menebangi hutan alam
Sumber-sumber kerusakan hutan :
1. Alih fungsi dan penyerobotan kawasan hutan
2. Bencana alam misalnya kebakaran, letusan gunung berapi, angin dan sebagainya
3. Penebangan (legal) yang berlebihan dan penebangan ilegal
4. Hama dan penyakit
Soekotjo dan Hani’in (1999) Kriteria kerusakan hutan dapat mengacu pada
akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan tersebut terhadap :
1. Keanekaragaman hayati
2. Produktivitas dan vitalitas hutan
3. Margasatwa
4. Aestetik dan lain sebagainya.
Masyarakat merusak hutan?
a. Mereka menganggap bahwa hutan boleh dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya
b. Mereka belum mengetahui secara benar tentang fungsi dan manfaat hutan
c. Mereka ada yang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu manfaat dengan cepat tanpa mengindahkan aturan yang ada.
d. Mereka melihat contoh yang dilakukan oleh petugas.
e. Factor x yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain (berkaitan dengan pola hidup)
Permasalahan yang sering kita hadapi sekarang ini adalah adanya
berbagai kepentingan yang ingin memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan
yang ada di Indonesia. Adanya Otonomi daerah, yang masing-masing daerah
ingin memanfaatkan sumberdaya yang ada seoptimal mungkin. Disisi lain,
kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan, akibat dampak pemanfaatan
sumberdaya alam tanpa mengindahkan aspek kelestariannya. Untuk itu,
salah satu upaya dalam mengatasi masalah-masalah diatas adalah dengan
cara antara lain dengan :
a. Rehabilitasi lahan melalui berbagai cara, antara lain dengan :
Reboisasi, penghijauan, penanaman kembali dengan tanaman perkebunan,
tanaman pertanian, reklamasi lahan pada lahan bekas tambang, dll.
b. Koordinasi dengan berbagai stackholder dalam merancang pemanfaatan
sumberdaya alam, secara arief, tanpa meninggalkan aspek kelestarian
c. Membuat skala prioritas dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Salah satu cara yang mungkin bisa dijadikan opsi dalam rangka
rehabilitasi lahan kritis terutama yang berbenturan dengan berbagai
masalah khususnya masyarakat adalah antara lain dengan penerapan
aplikasi silvikultur. Karena dengan penerapan aplikasi silvikultur akan
bisa mewadai berbagai kepentingan yang berkait dengan rehabilitasi lahan
kritis.
Lahan kritis diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. lahan ktitis di daratan, misalnya : lahan bekas tambang, lehan bekas illegal logging, dan lahan tandus dan gundul
2. lahan kritis di kawasan perairan, misalnya : hamparan pasir dipantai dan degradasi kawasam hutan payau.
III. Tujuan Rehabilitasi Lahan kritis
Lahan kritis yang semakin luas akan mengancam kehidupan baik yang di
darat maupun perairan. Reklamasi dan rehabilitasi lahan kritis
diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara optimal
sebagaimana mestinya dan tentunya berguna bagi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Adapun tujuan dari pembangunan kembali lahan kritis adalah :
1. Meningkatnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat
2. Meningkatkan produktivitas
3. Meningkatkan kualitas lingkungan menjadi lebih baik
4. Menyediakan air dan udara yang bersih
5. Terpeliharanya sumber daya genetik
6. Panorama lingkungan yang indah, unik dan menarik
IV. Langkah-Langkah Rehabilitasi
Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh agar pekerjaan rehabilitasi
dapat berhasil dengan baik. Langkah-langkah yang dimaksud adalah.
1. Upaya memperbaiki kondisi mikroklimat dan upaya agar kondisi tanah
berbatu mulai memungkinkan ditumbuhi oleh flora berakar dangkal sambil
berupaya untuk memperkaya hara nitrogen dan hara makro dan hara mikro
lainnya.
2. Seperti pada langkah pertama, tetapi menggunakan jenis-jenis yang sistem perakarannya lebih dalam.
3. Pemilihan jenis-jenis pohon yang persyaratan tumbuhnya sesuai dengan kondisi habitat yang bersangkutan
4. Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif.
Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif dan memiliki nilai komersiil sudah dapat dimulai (Pemuliaan Pohon)
IV. Klasifikasi Lahan Kritis
A. Lahan Kritis di Daratan
1. Lahan bekas tambang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah
akan sumber daya tambang. Perkembangan pertambangan di Indonesia sangat
tinggi, dari pertambangan batu bara, minyak bumi, emas, timah, perak dan
lgam lainnya.
Untuk endapatkan bahan-bahan tambang ini melalui proses penggalian,
pengerukan, pencucian, pemurnian dan lain sebagainya. Tahapan proses
yang berlangsung untuk mendapatkan logam-logam dalam bentuk murni
merupakan sumber dari pencemaran lingkungan. Pada proses pencucian dapat
mengakibatkan dampak negatif yang besar, karena secara tidak langsung
tanah dan air tercemar. Hal tersebut berdampak negatif pada tanaman yang
ada yaitu kesulitan untuk hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam
berat contohnya logam air raksa (Hg), Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb),
dan Khrom (Cr) biasanya memiliki efek meracuni bagi makhluk hidup.
Upaya untuk mengatasi pencemaran lingkungan pada lahan pertambangan
salah satu meode yang digunakan adalah Phytoremediation. Pada metode
ini, tanaman tertentu ditanam pada lahan yang tercemar dan tanaman
tersebut akan berinteraksi dengan organisme tanah yang ada sehngga dapat
mentransformasi polutan. Selain itu, dapat memperbaiki tanah yang
tercemar oleh bahan/ komponen logam berat bercun tersebut. Penggunaan
tanaman yang kemampuan mengikat logam berat yang tinggi dapt menjadi
strategi untuk mereklamasi lahan tercemar logam berat.
Daerah pertambangan pada umumnya dipersepsikan sebagai daerah dengan
kondisi lahan yang kritis dan tercemar oleh limbah beracun. Sebagai
contoh pada tailing penambangan emas, logam-logam berat yang beracun
terdiri atas selenium, sulfur, chromium, cadmium, nikel, seng dan
tembaga.
Pada lahan bekas tambang selain dijumpai limbah beracun, juga terdapat
beberapa tumbuhan pionir yang telah beradaptasi dengan kondisi kritis
dan tercemar. Tumbuhan pionir tersebut mempunyai potensi untuk
phytoremediation.
2. Lahan bekas illegal logging
Berbagai problematika di sektor kehutanan memiliki dampak pada
lingkunganya. Maraknya pembalakan liar menyebabkan kerusakan yang
dinamis baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Dampak illegal logging
terhadap lingkungan adalah terjadinya pemadatan tanah, berkurangnya
kapasitas infiltrasi, meningkatnya aliran permukaan dan erosi dan
terganggunya daur hidrologis pada kawasan tersebut. Secara ekologis,
kerusakan sumber daya hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan
telah menimbulkan erosi tanah yang dapat menimbulkan dampak negatif
secara luas baik langsung maupun tidak langsung. Di tempat terjadinya
erosi akan terjadi kehilangan tanah yang baik dan subur, kehilangan
unsur hara dan penurunan produktivitas, berkurangnya lahan untuk
menampung dan menyimpan air. Sedangkan di luar tempat kejadian erosi
terdapat endapan lumpur yang memperkecil daya tampung air di dalam
sungai, rusaknya lahan pertanian dan pemukiman, menurunnya kualitas air
dan rusaknya ekosistem perairan. Secara biologis, kerusakan akibat
illegal logging juga mengakibatkan terjadinya kemerosotan genetis dari
jenis-jenis yang ditebang, terjadinya kerusakan tegakan tinggal serta
punahnya berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan demikian, sangat
diperlukan upaya reklamasi lahan bekas illegal logging tersebut dengan
aplikasi silvikultur yang baik guna mengembalikan fungsi lahan kritis
akibat pembalakan liar tersebut.
3. Lahan tandus dan gundul
Sumber daya alam indonesia amatlah besar, tetapi akibat keserakahan dan
ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan
kerusakan-kerusakan dimana-nama. Sering kita mendengar istilah lahan
tandus, gersang dan gundul. Sepertinya sebutan tersebut mengisyaratkan
bahwa kita kekurangan pangan. Lahan tandus dan gersang adalah keadaaan
suatu areal yang tidak dapat ditanami lagi atau tidak produktif. Lahan
seperti ini diakibatkan dari eksploitasi tanaman yang tak terkendali
sehingga mengakibatkan hilangnya top soil atau tanah atas akibat erosi
yang besar.
Upaya untuk menangulangi kerusakan ini adalah dengan cara rehabilitasi
lahan yaitu penghijauan kembali. Salah satu teknik penghijauan kembali
dengan penerapan silvikultur intensif.
Pertama kita harus mengembalikan tanah yang hilang tersebut. Dengan
cara yang paling utaman mengidentifikasi jenis tanaman yang masih ada di
areal tersebut dan memperbanyak. Mencari tanaman pioner, kemudian
menggunakan jenis tanaman legum/ polongan seperti kemlandingan/ lamtoro,
gamal, serta jenis-jenis lain. Kita memilih tanaman jenis legum
dikarenakan biji banyak dan penyebaranya jauh serta mudah berkecambah.
Dengan daun yang majemuk dan tipis mudah terdekomposisi, serta akan
membentuk iklim mikro dibawah tegakan yang merupakan tempat hidup mikro
organisme pengurai. Dan kelamaan akan terjadi suksesi, sehingga pada
saatnya nanti kita akan bisa menanam lahan tersebut dengan tanaman keras
lagi, bahkan kita dapat menerapkan konsep agroforestry pada lahan
tersebut.
B. Lahan Kritis di Kawasan Perairan
1. Hamparan pasir di Pantai
Derah pesisir pantai pada umumnya berupa hamparan pasir yang luas.
Kawasan ini merupakan lahan marginal yang memiliki pasir dinamis, tidak
memiliki agregat, kandungan bahan organik rendah, mudah mengalami
kekeringan dan mempunyai kadar garam yang tinggi. Selain itu, jenis
tanah pasiran (regosol) dengan tekstur tanah geluh pasiran, kemampuan
menyerap air sangat tinggi. Karakteristik tersebut yang menjadi faktor
pembatas pada usaha penanaman di kawasan pesisir pantai. Jenis tumbuhan
yang mampu tumbuh sedikit. Biasanya terdapat tumbuhan bawah yang mampu
tumbuh secara alami seperti rumput gulung dan perdu seperti widuri.
Untuk tanaman kayu keras yang memiliki fungsi lebih kompleks telah
dicoba dan berhasil oleh Prof. Suhardi yaitu spesies cemara udang
(Casuarina equisetifolia). Pemilihan spesies cemara udang karena
merupakan satu-satunya tanaman pionir yang mampu tumbuh pada daerah
dekat pantai. Cemara udang sendiri mampu hidup pada daerah miskin hara
karena mampu bersimbiosis dengan frankia yang dapat membantu akar
tanaman mengikat nitrogen dari udara dan endomikorisa yang dapat
membantu akar menyerap unsur P dari tanah (Suhardi, 2002).
Fungsi penanaman kayu keras pada lahan pesisir pantai adalah sebagai berikut:
1. Sebagai wind break (pemecah angin).
2. Penghalang tsunami.
3. Pencegah abrasi pantai.
4. Sebagai pembentuk komunitas awal yang mampu mengahadirkan komunitas
baru (fasilitasi) sehingga menjadi bentuk pemanfaatan terpadu (sebagai
contoh : di pantai samas terdapat pemanfaatan lahan agroforestry
berbasis cemara udang ).
5. Pelindung tanaman lain.
6. Mengurangi erosi angin (reduce wind erosion).
7. Keindahan.
Rehabilitasi kawasan pesisir pantai sangat diperlukan mengingat
banyaknya fungsi yang dapat diperoleh. Rehabilitasi pada pesisir pantai
ini dapat berupa formasi hutan pantai.
2. Degradasi kawasan hutan Payau
Hutan payau termasuk salah satu formasi hutan yang tumbuh di daerah
pantai selain formasi hutan pantai. Terbentuknya hutan payau di daerah
pantai apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak adanya ombak yang besar, sehingga lumpur masih mampu bertahan diri tidak terbawa oleh gelombang air laut.
2. Lahan yang berlumpur dan sedikit pasir.
3. Adanya sungai-sungai yang bermuara ke daerah pantai itu yang memungkinkan membawa lumpur dari daratan karena erosi.
4. Daerah pantai yang masih terpengaruh oleh pasang surut air laut,
dengan demikian air yang mempengaruhi pantai adalah air asin, bukan air
tawar.
Jenis tanah penyusun hutan payau adalah Aluvial (ordo entisol),
merupakan jeis tanah baru. Tanah ini berasal dari bahan induk tanah yang
berada pada dataran yang lebih tinggi kemudian mengalami erosi baik
secara alami maupun erosi dipercepat oleh air hujan dan terbawa oleh
aliran sungai.
Fungsi hutan payau yang tidak dimiliki oleh ekosistem lain adalah
kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan darat dan
laut. Hutan payau menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber
makanan penting bagi nekton. Nekton ini menjadi sumber makanan bagi
biota pemakan daging baik di darat maupun di laut. Funsi lain dari hutan
payau dapat dikegorikan sebagai berikut:
1. Fungsi Fisik
- Mencegah abrasi dan intrusi air laut ke darat
- Menambah substrat untuk pertumbuhannya sehingga tanah menjadi stabil.
2. Fungsi biologis
- Tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi biota laut.
3. Fungsi ekonomis
- Kayu dari hutan mangrove dapat dijadikan bahan pulp, arang, perkakas dan lain sebagainya.
- Dapat digunakan pola tumpang sari dengan empang parit ikan (Silvofishery).
Mengingat banyaknya fungsi dari hutan payau tersebut maka diperlukan
pembangunan kembali hutan payau yang sekarang makin terdegradasi.