Selasa, 23 April 2013

APLIKASI SILVIKULTUR DALAM REHABILITASI LAHAN KRITIS


Dikutip dari tulisannya: Andi Rinto P. W., S.Hut.

I. Pengertian Lahan Kritis dan Silvikultur
Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (Djunaedi, 1997). Lahan kritis juga disebut sebagai lahan marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu, kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup (dalam keadaan tercekam).
Silvikultur adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pembangunan dan pemeliharaan hutan dengan mendasarkan pada pengetahuan silvika sehingga komposisi, struktur, dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan.
II. Latar Belakang Masalah
Pengantar
Whitmore (1984) mengatakan bahwa : Hutan tropis Indonesia dikenal merupakan hutan yang paling kaya akan jenis dan ekosistem yang terkompleks di dunia. Indonesia yang luas wilayahnya hanya 1.3 % dari luas permukaan bumi, memiliki :
1.Flora berbunga yang banyaknya 10 % dari jenis flora berbunga dunia,
2.Mamalia mempunyai 12 % dari jenis mamalia dunia,
3.Burung 17 % dari burung yang ada di dunia,
4.Ikan mempunyai 25 % dari jenis ikan di dunia (Myers. 1988; McNeely et al, 1990; Ministry of National Development Planning, 1997; Soekotjo dan Hani’in, 1999).
Laju kerusakan hutan yang disebabkan oleh berbagai faktor diprediksikan telah mencapai 1.6 juta hektar per tahunnya. Apabila hal ini dibiarkan maka menurut Witular (2000) hutan alam tropika di Sumatera akan habis pada tahun 2005, sedangkan di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Sementara menurut inventarisasi Depertemen kehutanan 2003, luas lahan kritis di Indonesia sekitar 43 juta hektar, dengan laju kerusakan hutan sekitar 3,5 juta hektar per tahun.
Kebutuhan bahan baku industri sekitar 58.87 juta m3/tahun, sedangkan pemenuhan kayu yang diproduksi dari hutan alam, hutan rakyat, HTI dan PT Perhutani selama 5 tahun terakhir hanya sekitar 25 juta m3/tahun. (Direktorat Produksi Hasil Hutan, 2000). Emil Salim (2005) mengatakan bahwa kebutuhan kayu di Indonesia sekitar 60 – 70 juta m3 setahun, sementara kayu yang bisa ditebang secara lestari dari hutan kita (alam, HTI dan Hutan Rakyat) hanya sekitar 20 juta m3/tahun. Sementara ilegal logging terus berjalan. Jadi mau tidak mau kita harus menanam dan tidak menebangi hutan alam
Sumber-sumber kerusakan hutan :
1. Alih fungsi dan penyerobotan kawasan hutan
2. Bencana alam misalnya kebakaran, letusan gunung berapi, angin dan sebagainya
3. Penebangan (legal) yang berlebihan dan penebangan ilegal
4. Hama dan penyakit
Soekotjo dan Hani’in (1999) Kriteria kerusakan hutan dapat mengacu pada akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan tersebut terhadap :
1. Keanekaragaman hayati
2. Produktivitas dan vitalitas hutan
3. Margasatwa
4. Aestetik dan lain sebagainya.
Masyarakat merusak hutan?
a. Mereka menganggap bahwa hutan boleh dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya
b. Mereka belum mengetahui secara benar tentang fungsi dan manfaat hutan
c. Mereka ada yang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu manfaat dengan cepat tanpa mengindahkan aturan yang ada.
d. Mereka melihat contoh yang dilakukan oleh petugas.
e. Factor x yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain (berkaitan dengan pola hidup)
Permasalahan yang sering kita hadapi sekarang ini adalah adanya berbagai kepentingan yang ingin memanfaatkan sumberdaya lahan dan hutan yang ada di Indonesia. Adanya Otonomi daerah, yang masing-masing daerah ingin memanfaatkan sumberdaya yang ada seoptimal mungkin. Disisi lain, kerusakan lingkungan tidak bisa dihindarkan, akibat dampak pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mengindahkan aspek kelestariannya. Untuk itu, salah satu upaya dalam mengatasi masalah-masalah diatas adalah dengan cara antara lain dengan :
a. Rehabilitasi lahan melalui berbagai cara, antara lain dengan : Reboisasi, penghijauan, penanaman kembali dengan tanaman perkebunan, tanaman pertanian, reklamasi lahan pada lahan bekas tambang, dll.
b. Koordinasi dengan berbagai stackholder dalam merancang pemanfaatan sumberdaya alam, secara arief, tanpa meninggalkan aspek kelestarian
c. Membuat skala prioritas dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Salah satu cara yang mungkin bisa dijadikan opsi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis terutama yang berbenturan dengan berbagai masalah khususnya masyarakat adalah antara lain dengan penerapan aplikasi silvikultur. Karena dengan penerapan aplikasi silvikultur akan bisa mewadai berbagai kepentingan yang berkait dengan rehabilitasi lahan kritis.
Lahan kritis diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. lahan ktitis di daratan, misalnya : lahan bekas tambang, lehan bekas illegal logging, dan lahan tandus dan gundul
2. lahan kritis di kawasan perairan, misalnya : hamparan pasir dipantai dan degradasi kawasam hutan payau.

III. Tujuan Rehabilitasi Lahan kritis
Lahan kritis yang semakin luas akan mengancam kehidupan baik yang di darat maupun perairan. Reklamasi dan rehabilitasi lahan kritis diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut secara optimal sebagaimana mestinya dan tentunya berguna bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Adapun tujuan dari pembangunan kembali lahan kritis adalah :
1. Meningkatnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat
2. Meningkatkan produktivitas
3. Meningkatkan kualitas lingkungan menjadi lebih baik
4. Menyediakan air dan udara yang bersih
5. Terpeliharanya sumber daya genetik
6. Panorama lingkungan yang indah, unik dan menarik

IV. Langkah-Langkah Rehabilitasi
Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh agar pekerjaan rehabilitasi dapat berhasil dengan baik. Langkah-langkah yang dimaksud adalah.
1. Upaya memperbaiki kondisi mikroklimat dan upaya agar kondisi tanah berbatu mulai memungkinkan ditumbuhi oleh flora berakar dangkal sambil berupaya untuk memperkaya hara nitrogen dan hara makro dan hara mikro lainnya.
2. Seperti pada langkah pertama, tetapi menggunakan jenis-jenis yang sistem perakarannya lebih dalam.
3. Pemilihan jenis-jenis pohon yang persyaratan tumbuhnya sesuai dengan kondisi habitat yang bersangkutan
4. Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif.
Pemilihan jenis-jenis yang lebih produktif dan memiliki nilai komersiil sudah dapat dimulai (Pemuliaan Pohon)

IV. Klasifikasi Lahan Kritis
A. Lahan Kritis di Daratan
1. Lahan bekas tambang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah akan sumber daya tambang. Perkembangan pertambangan di Indonesia sangat tinggi, dari pertambangan batu bara, minyak bumi, emas, timah, perak dan lgam lainnya.
Untuk endapatkan bahan-bahan tambang ini melalui proses penggalian, pengerukan, pencucian, pemurnian dan lain sebagainya. Tahapan proses yang berlangsung untuk mendapatkan logam-logam dalam bentuk murni merupakan sumber dari pencemaran lingkungan. Pada proses pencucian dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar, karena secara tidak langsung tanah dan air tercemar. Hal tersebut berdampak negatif pada tanaman yang ada yaitu kesulitan untuk hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat contohnya logam air raksa (Hg), Kadmium (Cd), Timah hitam (Pb), dan Khrom (Cr) biasanya memiliki efek meracuni bagi makhluk hidup.
Upaya untuk mengatasi pencemaran lingkungan pada lahan pertambangan salah satu meode yang digunakan adalah Phytoremediation. Pada metode ini, tanaman tertentu ditanam pada lahan yang tercemar dan tanaman tersebut akan berinteraksi dengan organisme tanah yang ada sehngga dapat mentransformasi polutan. Selain itu, dapat memperbaiki tanah yang tercemar oleh bahan/ komponen logam berat bercun tersebut. Penggunaan tanaman yang kemampuan mengikat logam berat yang tinggi dapt menjadi strategi untuk mereklamasi lahan tercemar logam berat.
Daerah pertambangan pada umumnya dipersepsikan sebagai daerah dengan kondisi lahan yang kritis dan tercemar oleh limbah beracun. Sebagai contoh pada tailing penambangan emas, logam-logam berat yang beracun terdiri atas selenium, sulfur, chromium, cadmium, nikel, seng dan tembaga.
Pada lahan bekas tambang selain dijumpai limbah beracun, juga terdapat beberapa tumbuhan pionir yang telah beradaptasi dengan kondisi kritis dan tercemar. Tumbuhan pionir tersebut mempunyai potensi untuk phytoremediation.
2. Lahan bekas illegal logging
Berbagai problematika di sektor kehutanan memiliki dampak pada lingkunganya. Maraknya pembalakan liar menyebabkan kerusakan yang dinamis baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Dampak illegal logging terhadap lingkungan adalah terjadinya pemadatan tanah, berkurangnya kapasitas infiltrasi, meningkatnya aliran permukaan dan erosi dan terganggunya daur hidrologis pada kawasan tersebut. Secara ekologis, kerusakan sumber daya hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan telah menimbulkan erosi tanah yang dapat menimbulkan dampak negatif secara luas baik langsung maupun tidak langsung. Di tempat terjadinya erosi akan terjadi kehilangan tanah yang baik dan subur, kehilangan unsur hara dan penurunan produktivitas, berkurangnya lahan untuk menampung dan menyimpan air. Sedangkan di luar tempat kejadian erosi terdapat endapan lumpur yang memperkecil daya tampung air di dalam sungai, rusaknya lahan pertanian dan pemukiman, menurunnya kualitas air dan rusaknya ekosistem perairan. Secara biologis, kerusakan akibat illegal logging juga mengakibatkan terjadinya kemerosotan genetis dari jenis-jenis yang ditebang, terjadinya kerusakan tegakan tinggal serta punahnya berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Dengan demikian, sangat diperlukan upaya reklamasi lahan bekas illegal logging tersebut dengan aplikasi silvikultur yang baik guna mengembalikan fungsi lahan kritis akibat pembalakan liar tersebut.
3. Lahan tandus dan gundul
Sumber daya alam indonesia amatlah besar, tetapi akibat keserakahan dan ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan kerusakan-kerusakan dimana-nama. Sering kita mendengar istilah lahan tandus, gersang dan gundul. Sepertinya sebutan tersebut mengisyaratkan bahwa kita kekurangan pangan. Lahan tandus dan gersang adalah keadaaan suatu areal yang tidak dapat ditanami lagi atau tidak produktif. Lahan seperti ini diakibatkan dari eksploitasi tanaman yang tak terkendali sehingga mengakibatkan hilangnya top soil atau tanah atas akibat erosi yang besar.
Upaya untuk menangulangi kerusakan ini adalah dengan cara rehabilitasi lahan yaitu penghijauan kembali. Salah satu teknik penghijauan kembali dengan penerapan silvikultur intensif.
Pertama kita harus mengembalikan tanah yang hilang tersebut. Dengan cara yang paling utaman mengidentifikasi jenis tanaman yang masih ada di areal tersebut dan memperbanyak. Mencari tanaman pioner, kemudian menggunakan jenis tanaman legum/ polongan seperti kemlandingan/ lamtoro, gamal, serta jenis-jenis lain. Kita memilih tanaman jenis legum dikarenakan biji banyak dan penyebaranya jauh serta mudah berkecambah. Dengan daun yang majemuk dan tipis mudah terdekomposisi, serta akan membentuk iklim mikro dibawah tegakan yang merupakan tempat hidup mikro organisme pengurai. Dan kelamaan akan terjadi suksesi, sehingga pada saatnya nanti kita akan bisa menanam lahan tersebut dengan tanaman keras lagi, bahkan kita dapat menerapkan konsep agroforestry pada lahan tersebut.

B. Lahan Kritis di Kawasan Perairan
1. Hamparan pasir di Pantai
Derah pesisir pantai pada umumnya berupa hamparan pasir yang luas. Kawasan ini merupakan lahan marginal yang memiliki pasir dinamis, tidak memiliki agregat, kandungan bahan organik rendah, mudah mengalami kekeringan dan mempunyai kadar garam yang tinggi. Selain itu, jenis tanah pasiran (regosol) dengan tekstur tanah geluh pasiran, kemampuan menyerap air sangat tinggi. Karakteristik tersebut yang menjadi faktor pembatas pada usaha penanaman di kawasan pesisir pantai. Jenis tumbuhan yang mampu tumbuh sedikit. Biasanya terdapat tumbuhan bawah yang mampu tumbuh secara alami seperti rumput gulung dan perdu seperti widuri. Untuk tanaman kayu keras yang memiliki fungsi lebih kompleks telah dicoba dan berhasil oleh Prof. Suhardi yaitu spesies cemara udang (Casuarina equisetifolia). Pemilihan spesies cemara udang karena merupakan satu-satunya tanaman pionir yang mampu tumbuh pada daerah dekat pantai. Cemara udang sendiri mampu hidup pada daerah miskin hara karena mampu bersimbiosis dengan frankia yang dapat membantu akar tanaman mengikat nitrogen dari udara dan endomikorisa yang dapat membantu akar menyerap unsur P dari tanah (Suhardi, 2002).
Fungsi penanaman kayu keras pada lahan pesisir pantai adalah sebagai berikut:
1. Sebagai wind break (pemecah angin).
2. Penghalang tsunami.
3. Pencegah abrasi pantai.
4. Sebagai pembentuk komunitas awal yang mampu mengahadirkan komunitas baru (fasilitasi) sehingga menjadi bentuk pemanfaatan terpadu (sebagai contoh : di pantai samas terdapat pemanfaatan lahan agroforestry berbasis cemara udang ).
5. Pelindung tanaman lain.
6. Mengurangi erosi angin (reduce wind erosion).
7. Keindahan.
Rehabilitasi kawasan pesisir pantai sangat diperlukan mengingat banyaknya fungsi yang dapat diperoleh. Rehabilitasi pada pesisir pantai ini dapat berupa formasi hutan pantai.
2. Degradasi kawasan hutan Payau
Hutan payau termasuk salah satu formasi hutan yang tumbuh di daerah pantai selain formasi hutan pantai. Terbentuknya hutan payau di daerah pantai apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak adanya ombak yang besar, sehingga lumpur masih mampu bertahan diri tidak terbawa oleh gelombang air laut.
2. Lahan yang berlumpur dan sedikit pasir.
3. Adanya sungai-sungai yang bermuara ke daerah pantai itu yang memungkinkan membawa lumpur dari daratan karena erosi.
4. Daerah pantai yang masih terpengaruh oleh pasang surut air laut, dengan demikian air yang mempengaruhi pantai adalah air asin, bukan air tawar.
Jenis tanah penyusun hutan payau adalah Aluvial (ordo entisol), merupakan jeis tanah baru. Tanah ini berasal dari bahan induk tanah yang berada pada dataran yang lebih tinggi kemudian mengalami erosi baik secara alami maupun erosi dipercepat oleh air hujan dan terbawa oleh aliran sungai.
Fungsi hutan payau yang tidak dimiliki oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan darat dan laut. Hutan payau menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi nekton. Nekton ini menjadi sumber makanan bagi biota pemakan daging baik di darat maupun di laut. Funsi lain dari hutan payau dapat dikegorikan sebagai berikut:
1. Fungsi Fisik
- Mencegah abrasi dan intrusi air laut ke darat
- Menambah substrat untuk pertumbuhannya sehingga tanah menjadi stabil.
2. Fungsi biologis
- Tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi biota laut.
3. Fungsi ekonomis
- Kayu dari hutan mangrove dapat dijadikan bahan pulp, arang, perkakas dan lain sebagainya.
- Dapat digunakan pola tumpang sari dengan empang parit ikan (Silvofishery).
Mengingat banyaknya fungsi dari hutan payau tersebut maka diperlukan pembangunan kembali hutan payau yang sekarang makin terdegradasi.

Minggu, 21 April 2013

Perbedaan Analisi Ekonomi dan Analisis Finansial

Analisis  finansial ditujukan  dalam hal melakukan evaluasi manfaat – biaya dan mengacu kepada penerimaan dan pengeluaran yang mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima atau yang dibayar oleh operator (petani). Sedangkan  analisis  ekonomi mengacu pada keunggulan komparatif atau effisiensi dari penggunaan barang dan jasa dalam satu kegiatan produktif. Effisien di sini diartikan bahwa alokasi sumber-sumber ekonomi digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan output dengan nilai ekonomi tertinggi

Rabu, 17 April 2013

Alih Fungsi Hutan Lindung Menjadi Pertambangan


Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal peruntukan semakin marak terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu tujuan utama yang paling mendasar dalam hal perubahan penutupan lahan adalah untuk tujuan ekonomi demi peningkatan Pendapata Asli Darah (PAD). Perubahan fungsi hutan yang paling banyak dijumpai saat ini adalah perubahan fungsi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. 
Di dalam undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebenarnya diperbolehkan, mengalihfungsikan hutan menjadi peruntukan lain akan tetapi didalam UU 41 pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.  Selain itu, dipertegas kembali Didalam pasal 38 ayat (4) kehutanan bahwa diperbolehkan melakukan penambangan dihutan lindung akan tetapi dengan sistem underground

Penyebab Deforestasi Hutan


Indonesia merupakan Negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang ditandai dengan dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah (genetik) yang berada dalam setiap jenisnya. Jumlah ekosistem yang ada di Indonesia diperkirakan sekitar 47 tipe ekosistem yang menyimpan pesona kehidupan flora dan fauna dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal inilah yang membuat Indonesia mendapatkan julukan sebagai salah satu Negara mega-biodiversity. Keanekaragaman hayati tersebut memberikan manfaat serba guna, dan mempunyai manfaat yang vital dan strategis sebagai modal dasar pembangunan nasional, serta merupakan paru-paru dunia yang dibutuhkan masa kini maupun masa akan datang

Jumat, 12 April 2013

Peta Administrasi Kecamatan Bantaeng

Dapat di download di sini peta terkait peta Tematik Kecamata Bantaeng

Kumpulan Buku Kehutanan

Apabila anda ingin menemukan buku-buku bacaan tentang kehutanan dapat di Download di sini

Kamis, 11 April 2013

FRAGMENTASI HABITAT DI ZONA MUSIM SEDANG (HABITAT FRAGMENTATION IN THE TEMPERATE ZONE)

Download di sini

Pendahuluan
Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan bekelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen  (Wilcove et al. 1986; Shafer 1990 dalam Primack et al. 1998), atau fragmentasi habitat didefenisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragment-fragment (patches) habitat yang membuat organisme mengalami kesulitan melakukan pergerakan dari habitat yang satu kehabitat yang lain. Secara sederhana konsep fragmentasi habitat diturunkan mirip dengan model biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967; Soule dan Wilcox, 1980; Burgess dan Sharpe, 1981), teori ini menunjukan bahwa jumlah spesies disebuah pulau merupakan keseimbangan atau kesetimbangan dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002). Fragmentasi menjadi hal  yang sangat penting untuk menjadi perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies, dinamika populasi dan keanekaragaman secara keseluruhan (Morrison et al., 1992).

Diberdayakan oleh Blogger.