Rabu, 17 April 2013

Alih Fungsi Hutan Lindung Menjadi Pertambangan


Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal peruntukan semakin marak terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu tujuan utama yang paling mendasar dalam hal perubahan penutupan lahan adalah untuk tujuan ekonomi demi peningkatan Pendapata Asli Darah (PAD). Perubahan fungsi hutan yang paling banyak dijumpai saat ini adalah perubahan fungsi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. 
Di dalam undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebenarnya diperbolehkan, mengalihfungsikan hutan menjadi peruntukan lain akan tetapi didalam UU 41 pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.  Selain itu, dipertegas kembali Didalam pasal 38 ayat (4) kehutanan bahwa diperbolehkan melakukan penambangan dihutan lindung akan tetapi dengan sistem underground
Sangat jelas diuraikan dalam undang-undang tersebut bahwa melakukan penambangan pada areal aboveground sangat tidak diperbolehkan apalagi pada hutan lindung, karena secara otomatis ketika melakukan penambangan pada hutan lindung maka akan banyak ekosistem yang akan terganggu akibat aktifitas tersebut. hutan lindung tidak akan berfungsi lagi sebagai penyangga kehidupan, sebagai pengatur iklim mikro dan sebagai sumber mata air. 
akan tetapi, selain uraian tersebut, ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi ketika akan melakukan alih fungsi hutan  salah satu diantaranya adalah tidak berdampak pada perubahan biofisik misalnya perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air serta dampak social masyarakat bagi generasi sekarang dan akan datang maka jika hal itu terjadi maka harus ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DRPD. dalam hal ini bahwa ketika syarat itu tidak bisa dipenuhi maka, perubahan tersebut jangan dilakukan.
Namun, fenomena yang terjadi dan tidak bisa terelakan lagi adalah munculnya beberapa perusahaan yang melakukan aktifitas pertambangan di dalam hutan lindung. sampai saat ini ditemukan sekitar 150 perusahaan pemegang izin usaha kuasa penambangan yang beroperasi di dalam hutan lindung. Di Kaltim dan Kalsel terdapat 1.900 KP yang bersinggungan dengan hutan lindung.  selain itu, masih banyak perusahaan-perusahaan aktif yang beroperasi di dalam hutan lidung dan memiliki konsesi pertambangan diantaranya Freeport Indonesia Corp, Karimun Granit, Inco, Indominco, Aneka Tambang, Pelsart Tambang Kencana, Interex Sacra Raya, Weda Bay Nickel, Gag Nikel, Sorikna Mining, dan Aneka Tambang, dan ini hanya berdasarkan keppres No. 41 Tahun 2004, baru sekitar 6 perusahaan yang mengajukan izin ke kemnhut. Ke-6 perusahaan tersebut adalah PT Weda Bay Nickel  (9.954 ha), PT Natarang Mining (40 ha), PT Karimun Granit (1.160 ha), PT Sorikmas Mining (30 ribu ha), PT Aneka Tambang (7.090 ha), dan PT Nusa Halmahera Minerals (213 ha). Jika ditotal, luas areal kawasan hutan lindung yang akan dieksplorasi keenam perusahaan itu mencapai 48.457 hektare. Selain keenam perusahaan tadi, masih ada PT Freeport Indonesia (Papua), PT Karimun Granit (Kepri), PT Inco Tbk (Sulawesi), PT Indominco Mandiri (Kaltim), PT Pelsart Tambang (Kalsel), PT Gag Nikel dan PT Interex Sacra Raya
Hal yang sangat miris terdengar adalah munculnya peraturan yang menetapkan tarif untuk penggunaan kawasan untuk tambang yang dilakukan secara terbuka horizontal di hutan lindung hanya dinilai dengan harga 3 Juta/Ha/tahun, sedangkan secara vertical senilai Rp. 2,250,000, sementara untuk penggunaan lainnya seperti untuk migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, relai TV dll dihutan lindung hanya dihargai dengan 1,5 juta
Selain itu, masalah yang muncul kemudian adalah hadirnya berbagai kebijakan yang seolah bersifat kotradiktif, salah satu contoh kebijakan yang dimunculkan adalah seperti yang diamanatkan dalam pasal 18 ayat (2) UU No. 41 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada pasal 1 minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. 
Seharusnya mesti ada tanggung tanggung jawab yang harus dilakukan jika mengeksplotasi hutan lindung. bentuk upaya yang harus dilakukan adalah membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang, menyediakan dan menyerahkan tanah kepada Kemenhut sebagai kompensasi atas kawasan hutan lindung yang dipinjam, juga menyusun rencana kerja penggunaan kawasan hutan lain lima tahunan maupun tahunan, dan membayar dana jaminan reklamasi, serta membiayai reboisasi.
Selain itu, semestinya harus ada sangsi yang diberikan kepada pemegang izin yaitu apabila pemegang izin tidak memenuhi perjanjian maka akan dikenakan sangsi admistrasi berupa pencabutan izin pinjam pakai apabila dalam satu tahun tidak memenuhi kewajibannya, tidak menggunakan kawasan pinjam pakai sesuai dengan izin yang diberikan, meninggalkan kawasan hutan sebelum masa izinnya berakhir, memindahtangankan sebagian atau seluruhnya kawasan hutan yang dipakai kepada pihak lain 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.