Kamis, 11 April 2013

FRAGMENTASI HABITAT DI ZONA MUSIM SEDANG (HABITAT FRAGMENTATION IN THE TEMPERATE ZONE)

Download di sini


Pendahuluan
Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan bekelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen  (Wilcove et al. 1986; Shafer 1990 dalam Primack et al. 1998), atau fragmentasi habitat didefenisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragment-fragment (patches) habitat yang membuat organisme mengalami kesulitan melakukan pergerakan dari habitat yang satu kehabitat yang lain. Secara sederhana konsep fragmentasi habitat diturunkan mirip dengan model biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967; Soule dan Wilcox, 1980; Burgess dan Sharpe, 1981), teori ini menunjukan bahwa jumlah spesies disebuah pulau merupakan keseimbangan atau kesetimbangan dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002). Fragmentasi menjadi hal  yang sangat penting untuk menjadi perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies, dinamika populasi dan keanekaragaman secara keseluruhan (Morrison et al., 1992).
Lebih lanjut Forman dan Gordon (1986) menyatakan bahwa fragmentasi habitat adalah proses dinamis yang menghasilkan perubahan pola habitat pada lansekap berdasarkan waktu. Istilah fragmentasi secara umum digunakan untuk menggambarkan perubahan blok luas vegetasi menjadi blok yang lebih kecil akibat kegiatan penebangan atau aktivitas lainnya.
Fragmentasi memiliki 3 (tiga) komponen yang dikenal diantaranya adalah (1) kehilangan menyeluruh dari habitat pada lansekap (kehilangan habitat) (2) pengurangan pada ukuran blok dari habitat yang diikuti dengan pembagian dan pembersihan (pengurangan habitat) (3) meningkatnya isolasi habitat untuk penggunaan lahan baru yang diokupasi pada lingkungan yang terganggu atau terpisahnya fragmen-fragmen habitat yang terdistribusi pada daerah-daerah yang tersisa (pengaruh akibat dari kegiatan imigrasi sehingga menyebabkan terjadinya penyebaran).
Efek dari terjadinya fragmentasi yang penting adalah turun naiknya intesitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis (Kapos, 1989). Oleh karena itu, spesies dan tumbuhan biasanya beradaptasi untuk suhu, kelembaban, intesitas cahaya tertentu sehingga dengan perubahan tersebut akan memusanahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Dengan demikian maka, fragmentasi habitat dapat mengancam keberadaan spesies dengan cara : 1) memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi, 2) pengurangan daerah jelajah hewan asli, 3) kondisi lingkugan dapat berubah dan menjadi lebih umum terjadi, 4) memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu (Patton, 1994).     
Dampak Fragmentasi Terhadap Spesies
Berbagai kegiatan yang telah dilakukan selama ini menyebabkan terjadinya fragmentasi yang sangat besar, sehingga berdampak pada kehidupan spesies satwa liar. Pada saat kegiatan fragementasi, banyak fauna lenyap diantaranya adalah Singa Gunung (pada abad ke-20 walaupun sebagian dari daerah Florida bertahan), termasuk Serigala (pada abad ke-19), Rusa (abad ke-19), Merpati (abad ke-20) dan Burung Gading Pelatuk Berparuh (abad 20), dan banyak fauna lainnya yang mengalami fragmentasi diantaranya adalah dari kelompok insect, amphibi, dan burung. Hal ini merupakan salah satu gambaran empiris dari dampak fragmentasi terhadap spesies.  
Fragmentasi habitat juga dapat mengancam keberadaan spesies dengan berbagai cara diantaranya adalah fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies burung, mamalia dan serangga pada daerah pedalam hutan tidak akan dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa atau predator, walaupun daerah terbuka tersebut tidak begitu luas, akibatnya spesies yang tidak dapat berkolonisasi lagi di daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang (Lovejoy et al. 1980 dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) melanjutkan bahwa penurunan kemampuan penyebaran hewan yang diakibatkan oleh fragmentasi habitat dapat mempengaruhi pula kemampuan penyebaran tumbuhan yang bergantung padanya. Hal ini berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang menghasikan buah berdaging (yang menjadi makanan hewan) dan tumbuh-tumbuhan yang bijinya dapat melekat pada hewan tertentu. Dengan demikian, fragementasi habitat yang terisolasi tidak akan dikolonisasi oleh spesies asli yang sebenarnya tumbuh di daerah tersebut. Jika pada fragmen spesies punah melalui proses populasi dan suksesi, spesies baru tidak akan mengkolonisasi daerah ini oleh karena adanya penghalang penyebaran, dan akhirnya jumlah spesies pada fragmen habitat tersebut akan mengalami penurunan.
Selain itu, Wilcove (1987) dalam Morrison et al (1992), mengemukakan ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : 1) spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi, 2) kantong habitat gagal menyediakan habitat, karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal, 3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki rasio lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial, dan 4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting, sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci.
Menurut Kupfer et al (2004), ada beberapa cara fragmentasi hutan yang mempengaruhi keankeragaman hayati, yaitu 1) home range, 2) pengaruh isolasi habitat, 3) kehilangan heterogenitas habitat, 4) pengaruh habitat berbagai fragmentasi, 5) edge effect (efek tepi) dan 6) kepunahan sekunder.
Mekanisme Perluasan
Pembahasan sebelumnya telah mengambil suatu pendekatan dari kotak hitam untuk fragmentasi. Pada bagian ini pembahasan akan fokus pada mekanisme proksimat kepunahan, termasuk home range, kehilangan heterogenitas habitat, efek fragementasi habitat disekitar, efek tepi dan sekunder kepunahan.   
Home Range (Daerah Jelajah)
Home range merupakan salah satu unsur yang paling utama untuk setiap spesies baik itu spesies mamalia, insect, maupun burung. Menurut Primack et al. (1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah pengurangan daerah jelajah dari hewan asli atau yang biasa dikenal dengan home range. Kebanyakan spesies hewan, baik sebagai individu atau kelompok sosial, harus memiliki daerah jelalajah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hewan-hewan ini harus dapat berjalan dari sumber makanan yang satu kesumber makanan yang lain atau yang kadang-kadang tersedia berdasarkan musimnya seperti buah, biji, rumput, genangan air dll. Suatu sumber makanan mungkin saja dibutuhkan hanya beberapa minggu atau bahkan sekali pertahunnya. Jika habitat terfragmentasi maka, spesies yang berada didalam satu fragmen tidak dapat berjalan kefragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya. Spesies yang merasakan kehilangan home range adalah hewan besar atau mamalia besar, karena pada umumnya hewan besar membutuhkan  daerah jelajah berkisar antara 6,5 – 7,6 km2 hutan untuk habitatnya (Tanner, 1942) salah satu contoh misalnya pagar dapat menghalangi migrasi ilmiah yang dilakukan oleh hewan pemakan rumput seperti Bison di Amerika atau Wildebeest di Afrika. Selin itu, Singa Gunung Jantan Amerika serikat bagian Barat membutuhkan daerah jelajah sekitar lebih dari 400 km2 (Seiden-sticher dkk,. 1973), para Goshawk Eropa memiliki membutuhkan habitat sekitar 30-50 km2 (Cramp and Simmons, 1979),  sehingga memaksa hewan-hewan untuk mengeksploitasi daerah yang sebenarnya tidak sesuai sehingga menyebabkan mereka kelaparan dan mengakibatkan pula penurunan kualitas daerah tersebut.
Pengaruh isolasi habitat
Fragmentasi habitat dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan  cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas.  Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depression), genetic drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran kecil.  Suatu habitat yang luas dapat mendukung suatu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan (Primack, 1993).
Beberapa studi yang dilakukan di beberapa pulau sebagai lokasi pengamatan, baik di kawasan temperate maupun tropis menunjukkan hasil yang sama yaitu bila penurunan luas pulau berkisar 1 hingga 25 km2, seperti penurunan luas cagar alam dan suaka margastawa, maka laju kepunahan jenis-jenis burung dalam kurun waktu 100 tahun dapat mencapai 10%-50%, selain itu,  penelitian Willis (1979) dalam Wilson (1993), di kawasan hutan brazil dengan luas areal 0,2 hingga 14 km2 yang terisolasi oleh lahan pertanian, menunjukkan laju kepunahan burung berkisar 14% sampai 64% dalam kurun waktu 100 tahun. Bentuk kegiatan lain yang menyebabkan pemusnahan populasi adalah kegiatan perburuan yang dilakukan di daerah Amerika Serikat bagian timur menyebabkan kehilangan atau punahnya beberapa satwa liar diantaranya adalah beruang coklat, babi hutan dan serigala.
Menurut Harris (1984); Wilcove, et al. (1986); Saunders (1991) aktivitas manusia menyebabkan terganggunya status dan distribusi populasi serta habitat satwa liar dalam dua hal yaitu (1) pengurangan total area dari habitat alami dan jumlah populasi sebagai akibat kegiatan pembangunan dan (2) habitat alami dan kisaran distribusi spesies yang sensitif mengalami fragmentasi  ke dalam potongan-potongan areal yang disebut  “pulau”.  Konsekuensi dari terbentuknya “pulau-pulau” habitat, menyebabkan kualitas habitat bagi spesies bervariasi secara spasial dan kebanyakan spesies yang terdistribusi dalam sistem metapopulasi dari populasi lokal yang terhubung oleh penyebaran.  Ketahanan metapopulasi sangat tergantung pada efisiensi penyebaran individual spesies dari satu patch ke patch lain (Meffe et al, 1994).   
Dengan demikian maka, semakin nyata bahwa bukti fragmentasi habitat merugikan bagi banyak spesies dan dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati regional dan global. Harris, (1984) telah memberikan pembenaran empiris perlunya mengelola lanskap secara menyeluruh, tidak hanya mengelola komponen-komponennya secara parsial.
Kehilangan Heterogenitas Habitat
Salah satu konsekuensi umum dari fragmentasi habitat adalah hilangnya heterogenitas. Ada beberapa hamparan hutan atau padang rumput yang seharusnya ditempati oleh habitat yang heterogenitas karena terjadi pengurangan home range sehingga terjadi diskriminisai yang menyebabkan satwa lain punah. Jika dalam suatu area didominasi oleh satu jenis maka akan mempengaruhi jenis yang lainnya. Salah satu contoh, apabila dalam suatu area di dominasi oleh jenis vegetasi tertentu maka kemampuan vegetasi tersebut dalam berkompetitor sangat tinggi sehingga menyebabkan kerentatan terhadap gangguan dari luar pun akan semakin tinggi. Kejadian yang dialami oleh burung penyanyi yang hidup dan bersarang disekitar sungai Louisiana Timur Amerika Utara, dimana burung tersebut mencari makanan di sekitar sungai  yang bergerak dengan cepat untuk mencari makanan ketika vegetasi disekitar sungai terbuka burung tersebut jarang lagi ditemui di daerah sekitar sungai dimana dia mencari makanan. (Champman 1907, Robbins 1980 ).
Persyaratan habitat untuk burung penyanyi adalah pada wilayah yang paling jauh. Burung penyanyi tetap dapat memainkan peran utama terhadap fragementasi. Lynch and Whigham (1984) mempelajari komunitas burung dan vegetasi dari 270 woodlots di Maryland. Mereka menemukan bahwa karakteristik struktural atau floristic vegetasi sangat mempengaruhi kelimpahan masing-masing spesies burung lokal dan karakteristik vegetasi akan bervariasi tergantung dengan ukuran hutan. Hasil kualitatif serupa tercatat oleh Bond (1957). Dalam artian bahwa, semakin tinggi tingkat heterogenitas vegetasi hutan maka tingkat keanekaragaman burung pun akan semakin tinggi.
Ketika spesies memerlukan dua atau lebih tipe habitat maka, fragmentasi tidak memungkinkan untuk bergerak diantara dua habitat tersebut. Karr (1982a) mengemukakan bahwa telah dibuktikan kepunahan burung tanah barro Pulau Colorado Panama. Dalam zona iklim sedang masalah ini akan menimpa berbagai jenis organisme. Sejumlah amphibi memiliki dua kehidupan yaitu didarat dan perairan, kehidupan amphibi ini menetap dan hidup didarat sebagai habitatnya selama tiga tahun, dan akhirnya harus kembali ke air untuk berkembang biak. 
Kehilangan heterogenitas habitat di pandang sebagai hilanganya habitat (habitat loss) sebagai akibat dari fragmentasi tetapi fragmentasi dapat disertai dengan hilangnya habitat (berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian fragment habitat besar menjadi fragment-fragment kecil lebih dan terisolasi (Hunter, 1997; Haila, 1999; Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003). Menurut Franklin et al. (2002) dan Fahrig (2003), fragmentasi bekerja dalam empat cara, yaitu: (1) habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil, (3) pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil tanpa kehilangan habitat, dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil serta penurunan kualitas habitat.
Pengaruh habitat berbagai fragmentasi
Contoh kasus dalam sebuah pulau besar adalah laut menjadi salah satu penghalang bagi setiap spesies untuk melintas, kondisi tersebut memiliki potensi yang sangat riskan karena hanya hewan-hewan kuat yang mampu melintas sedangkan yang tidak mampu melintas sangat berpotensi untuk mati dan menjadi mangsa bagi hewan pemangsa atau hewan karnivora. Dalam kasus lain sebuah fragmen laut digantikan oleh tempat tinggal manusia atau lahan pertanian yang menjadi penghalang. Populasi hewan akan berbahaya dalam membangun populasinya karena adanya faktor tersebut. Contoh yang baik dalam penelitian ini adalah masalah yang datang dari burung bernyanyi hewan dinegara bagian timur ini hewan ini awalnya bersatu karena terjadinya fragementasi sehingga menyebabkan burung ini berpisah.  
Populasi burung penyanyi telah mengalami penurunan sejak akhir tahun 1940-an (Robbins, 1979; Whitcomb et al., 1981; Wilcove, 1985a), sejumlah faktor telah memberikan kontribusi terhadap penurunan ini, salah satu tingkat yang paling tinggi adalah hewan pemangsa sarang (Wilcove, 1985b)  dan paratisitme burung kepala coklat (Mayfield, 1977; Brittingham and temple, 1983). Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah predator sarang telah meningkat sebagai akibat dari kegiatan manusia yang merubah bentang lahan.  
Aktivitas para predator sarang burung, seperti burung biru jay, rakun, tupai abu-abu terjadi akibat kerapatan hutan yang tinggi mengalami penurunan sehingga hewan yang hidupnya dihutan mulai memilih habitat yang dipinggiran kota yang berdekatan dengan masyarakat (Flyger, 1970; Fretwell, 1972; Hoffman and Gottschang, 1977). Sebelum kedatangan pemukim Eropa kehidupan Cowbird sebagian besar memilih berada pada areal padang rumput, dimana ada mamalia penggembala mereka mengikuti mamalia penggembalaan tersebut kemudian memakan serangga yang berkicau, dengan adanya gangguan dari hutan gugur bagian timur dan penggembalaan ternak, cowbird menyebar keseluruh bagian timur Amerika dan Kanada (Mayfiled, 1977).
Tanpa kegiatan pelestarian tidak ada habitat yang kebal terhadap aktifitas manusia, sehingga aktifivitas manusia dalam melakukan pengelolaan satwa liar dikhawatirkan akan berdampak terhadap ekologi pengembangan di luar kawasan lindung. To quote Janzen (1983) “No Park is an island” (taman bukan merupakan suatu pulau)    
Efek tepi (Edges effect)
Pengelolaan satwa liar telah lama dilakukan pada tepi hutan dan ini sangat dipuji kebaikannya (Dasmann, 1964, 1971; Yoakum and Dasmann, 1969; Burger 1973) seperti diulas oleh para penulis tradisional diwaktu lalu. Tentu saja hewan buruan seperti rusa berekor putih sangat cocok untuk hidup di tepi akan tetapi habitat tepi hutan memberikan dampak negatif terhadap anggota flora dan fauna yang lain (hubell and Forest, Chapter 10; Lovejoy et al., Chapter 12; Janzen Chapter 13).
Efek tepi diipercayai oleh Ranney et all. (1981) bahwa benih inti dalam suatu kawasan hutan jika didominasi oleh spesies benih tepi pada akhirnya akan mengubah kompisisi dari spesies inti tersebut karena tanaman yang didominasi oleh spesies tepi akan berubah dari toleran menjadi intoleran, sehingga Raney et ell. Mengatakan bahwa cadangan hutan yang kecil mungkin tidak akan teratur dalam mempertahankan populasi tanaman interior hutan.
Untuk tujuan manajemen adalah penting diketahui bagaimana pengaruh efek tepi yang dirasakan. Studi yang dilakukan oleh Ranney (1977) dan Wales (1972) menunjukan bahwa perubahan vegetasi utama akan memperpanjang sekitar 10 – 30 m kedalam hutan, namun untuk menempatkan sarang buatan perlu dibuatkan berbagai jarak pada tepi. Wilcove (1985a) menunjukan bahwa peningkatan tepi terkait dalam predasi dapat memperpanjang 300 – 600 m di dalam hutan. Seharusnya tidak mengejutkan efek tepi hutan pada fauna akan melebihi efek bunga. Sebagai contoh burung gagak, cowbirds tidak toleran terhadap bagian hutan, demikian pula dengan mamalia seperti rakun, musang dan tupai sambil berkosentrasi pada kegiatan mereka di tepi hutan mereka juga akan sering untuk masuk ke tengah hutan (Whitaker, 1980).
Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi, karena lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan makro dibagian tengah hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan kecepatan angin secara drastis (Kapos, 1989, Beirregaard et al. 1992 dalam Primack et al. 1998). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m kedalam hutan (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Oleh karena, spesies tumbuhan dan hewan biasanya teradaptasi untuk suhu, kelembaban, dan intesitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Spesies tumbuhan liar yang toleran pada naungan didaerah beriklim sedang, spesies pepohonan yang muncul belakangan pada suksesi didaerah tropik dan hewan-hewan yang sensitif pada kelembaban seperti amfibi biasanya dapat dengan cepat termusnahkan oleh fragmentasi habitat dan akirnya menyebabkan perubahan komposisi spesies dari suatu komunitas.
Jika hutan telah terfragmentasi, pertambahan kecepatan angin, rendahnya kelembaban dan tingginya suhu pada daerah tepi akan menyebabkan daerah itu lebih mudah mengalami kebakaran.  Kebakaran hutan dapat menyebar ke fragmentasi habitat dari tanah pertanian di dekatnya yang dibakar secara teratur.  Misalnya kegiatan pertanian yang melakukan perladangan berpindah dengan melakukan pembakaran untuk membuka lahan baru (Gomez-Pompa dan Kaus 1992 dalam Primack 1993).  Penyebab dari bencana alam ini adalah gabungan dari praktek-praktek pertanian dan tebang pilih, serta kegiatan manusia lainnya (Leighton dan Wirawan 1986 dalam Primack et al.  1998).
Fragmentasi habitat memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu.  Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan (Paton 1994 dalam Primack, 1993).  Di Amerika Serikat, hewan-hewan omnivora seperti Raccoons, Sigung, dan blue jays dapat  bertambah jumlahnya di tepi fragmen.  Hewan-hewan ini dapat memperoleh makanan baik dari habitat yang terganggu maupun dari daerah yang tidak terganggu.  Pemangsa yang agresif ini akan memakan telur dan anak-anak burung hutan sehingga  mencegah keberhasilan reproduksi dari banyak spesies burung yang berada beberapa ratus meter dari daerah tepi.  Burung parasit yang hidup di lapangan terbuka dan tepi hutan mempergunakan habitat tepi sebagai basis untuk menginvasi bagian dalam fragmen hutan. Disini, anak-anak mereka menghancurkan telur dan mengganggu kehidupan anak-anak burung penyanyi.  Gabungan dari fragmentasi habitat, kenaikan pemangsa selama masa kecil dan perusakan hutan tropik menyebabkan penurunan yang drastis pada spesies burung migran di Amerika Utara, seperti red-eyed vireo, eastern wood pewee, dan hooded warbler (Terborgh 1989 dalam Primack et al. 1998), walapun belum ada kata sepakat mengenai penyebab sebenarnya serta seberapa jauh mereka menyebar (James et al. sedang naik cetak dalam Primack dkk, 1998). 
Primack (1993) melanjutkan bahwa fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar menjadi dekat dengan tumbuhan dan hewan peliharaan.  Penyakit spesies peliharaan ini akan dengan mudah menular ke spesies lain yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tersebut.  Keadaan yang sebaliknya dapat terjadi, yaitu penyakit menular dari spesies liar ke spesies peliharaan bahkan juga ke manusia.
Sekunder Kepunahan
Fragmentasi sering menggangu banyak interaksi ekologi penting dari suatu komunitas, termasuk hubungan predator dengan pemangsa, tanaman penyerbuk dan tanaman parasit dan mutualisme (Gilbert, 1980; Theborgh and Winter, 1980). Gangguan interaksi tersebut dapat menyebabkan kepunahan tambahan, sehingga kadang-kadang disebut sebagai “sekunder kepunahan”. Biasanya sekunder kepunahan berhubungan dengan kerusakan hutan tropis yang kompleks tetapi tentu masalah ini tidak dikenal dalam zona iklim sedang. Sebagai contoh, woodlots kecil di negara bagian timur akan bersatu atau saling mendukung jika ada pemangsa besar seperti elang besar atau burung hantu atau populasi lain yang bisa diatur seperti spesies omnivora, rakun, oppssum, tupai dan blue jays (Matthiae and stearns, 1981; Wnitcomb et al., 1981).  Omnivora ini, pada gilirannya akan memangsa telur burung penyayi hutan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tingkat predasi bersarang sangat kecil, sehingga ini mungkin merupakan salah satu alasan mengapa burung penyanyi populasinya menurun (Terbogh, 1974).
Sebuah contoh yang lebih rumit melibatkan kepunahan kupu-kupu biru besar di Inggris (Thomas, 1976; Ratcliffe, 1979). Kupu-kupu ini memiliki kisah hidup yang luar biasa dimana dalam mengembangkan diri sebagai larva harus mengembangkan diri dalam sarang semut merah Myrmica sabuleti, selain itu pada tahun pertengahan 1950-an populasi tertekan.     
Peneliti menyadari bahwa banyak data fragmentasi yang telah dikumpulkan, dan sekunder kepunahan ini merupakan bukti yang umum terjadi dimasyarakat, sehingga pencegahan tersebut memerlukan studi synecological yang melibatkan spesies terancam, dengan demikian untuk mengatasi berbagai hal tersebut perlu dibuat sebuah konsep tentang manajamen fragmentasi.
Manajemen Fragmentasi
Fragmentasi hutan saat ini tidak bisa dipungkiri sudah sangat menghawatirkan karena akibat semakin luasnya sendi-sendi kehidupan manusia, meningkatnya frekuensi dan intensitas bajir, tanah longsor serta kekeringan tetapi juga kelestarian keanekaragaman hayati yang merupakan penyangga kehidupan manusia.
Ketika hutan alam digantikan oleh hutan tanaman, mungkin saja masih dapat  berfungsi sebagai habitat satwa liar meskipun kualitasnya sudah pasti menurun bagi satwa spesies hutan alam dan spesialis interior hutan. Perkebunan atau pertanian tanaman keras mungkin akan sebagai koridor penghubung dua habitat yang terfragmentasi, tetapi pertanian dan sawah akan menjadi penghalang penjelajahan satwa, khususnya mamalia meskipun bisa saja ditembus pada tempat dan waktu tertentu. Pemukiman dan jalan raya yang ramai dengan lalu lalang kendaraan mungkin tidak dapat dilewati sama sekali oleh satwa liar untuk menyeberang kekantong habitat sekitarnya.
Pentingnya keutuhan dan kesinambungan habitat bagi konservasi satwa liar, maka para pengambil keputusan harus mempertimbangkan dampak dari fragmentasi hutan yang mungkin tidak tampak dalam jangka pendek tetapi memberikan pengaruh jangka panjang, sehingga kegiatan pembangunan yang melibatkan kawasan hutan harus benar-benar mempertimbangkan aspek ekologi dalam skala lansekap dengan memperhatikan kekompakan dan kesinambungan habitat. Dengan perkataan lain jika kegiatan pembangunan mengakibatkan pemecahan habitat besar menjadi habitat yang lebih kecil, maka harus dibuat koridor yang menjadi penghubung habitat-habitat kecil kehabitat asal (sebelum terjadi pemecahan).
Koridor penghubung antar fragmen hutan dapat berbentuk vegetasi di sempadan sungai dan sempadan pantai, vegetasi hutan tanaman, vegetasi perkebunan dan tanaman keras lainnya, untuk koridor satwa kecil menyeberangi jalan dapat berupa gorong-gorong atau jembatan penyeberangan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga terlihat alami. Koridor dapat merupakan lahan milik Negara, lahan miliki swasta (seperti perkebunan) dan lahan milik rakyat.
Apabila koridor tidak mungkin dibuat, maka agar terjadi pertukaran genetik antara populasi yang terisolasi dapat dilakukan dengn translokasi, dimana satwa yang akan dipertukarkan ditangkap untuk kemudian dipindahkan kelokasi tujuan. Namun, untuk satwa yang bersifat teritorial, hal ini akan menimbulkan masalah karena penghuni lama bisa melakukan penolakan, sehingga perkelahian yang menyebabkan kematian atau salah satu individu yang kalah akan keluar kelahan pertanian atau kampung terdekat dan menjadi gangguan bagi manusia.
Translokasi bagi satwa yang bersifat teritorial sangat dimungkinkan jika individu-individu satwa dari populasi yang telah melewati daya dukung dipindahkan kelokasi habitat yang tidak berpenghuni spesies yang sama, hal ini tentunya setelah dilakukan studi kelayakan habitat dan daya dukung habitat. Untuk habitat kecil, yang memiliki daya dukung rendah terhadap populasi yang ada dan memiliki interior kecil serta memiliki pengaruh tepi (edge effect) yang besar, maka dibuat zona perluasan habitat atau zona penyangga disekitarnya. Zona perluasan habitat dapat merupakan kawasan hutan Negara atau lahan milik rakyat yang dibeli. Prinsipnya zona perluasan habitat ini atau zoa penyangga ini dapat berfungsi menjadi penyangga agar satwa didalam fragmen hutan tidak keluar kekebun atau perkampugan disekitar dan zona tersebut dapat menambah luas ruang habitat dan memperkaya keanekaragaman habitat serta meningkatkan kualitas habitat bagi satwa liar.
Mengingat hutan memiliki peranan yang paling besar dalam proses terjadinya fragmentasi salah satunya adalah berperan sebagai tempat habitat alternatif atau penyagga habitat satwa liar maka upaya yang harus dilakukan adalah menjaga hutan tetap lestari dan tetap memperhatikan ekologi, jika akan melakukan penebangan pada hutan alam harus dilakukan pengaturan rotasi karena jangan sampai akan terjadi fragmentasi secara temporal serta menurunkan kualitas dan kuantitas satwa liar. 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum.

    Materi yang dituliskan di blog ini sangat berguna.
    terima kasih atas tulisan ini yah.
    saya izin copy bagian "fregmentasi habitat dan Koridor" untuk tugas kuliah saya.

    Wassalam.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.