Pendahuluan
Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan
habitat yang luas dan bekelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau
lebih fragmen (Wilcove et al. 1986; Shafer 1990 dalam
Primack et al. 1998), atau fragmentasi habitat didefenisikan sebagai
pemecahan habitat organisme menjadi fragment-fragment (patches) habitat yang membuat organisme mengalami kesulitan
melakukan pergerakan dari habitat yang satu kehabitat yang lain. Secara
sederhana konsep fragmentasi habitat diturunkan mirip dengan model biogeografi
pulau (MacArthur & Wilson, 1967; Soule dan Wilcox, 1980; Burgess
dan Sharpe, 1981), teori ini menunjukan bahwa jumlah spesies disebuah
pulau merupakan keseimbangan atau kesetimbangan dimana jumlah spesies meningkat
dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002). Fragmentasi menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian
karena berpengaruh pada kekayaan spesies, dinamika populasi dan keanekaragaman
secara keseluruhan (Morrison et al., 1992).
Lebih lanjut Forman dan Gordon (1986) menyatakan bahwa
fragmentasi habitat adalah proses dinamis yang menghasilkan perubahan pola
habitat pada lansekap berdasarkan waktu. Istilah fragmentasi secara umum
digunakan untuk menggambarkan perubahan blok luas vegetasi menjadi blok yang
lebih kecil akibat kegiatan penebangan atau aktivitas lainnya.
Fragmentasi memiliki 3 (tiga) komponen yang dikenal
diantaranya adalah (1) kehilangan menyeluruh dari habitat pada lansekap
(kehilangan habitat) (2) pengurangan pada ukuran blok dari habitat yang diikuti
dengan pembagian dan pembersihan (pengurangan habitat) (3) meningkatnya isolasi
habitat untuk penggunaan lahan baru yang diokupasi pada lingkungan yang
terganggu atau terpisahnya fragmen-fragmen habitat yang terdistribusi pada
daerah-daerah yang tersisa (pengaruh akibat dari kegiatan imigrasi sehingga
menyebabkan terjadinya penyebaran).
Efek dari terjadinya fragmentasi yang penting adalah
turun naiknya intesitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara
drastis (Kapos, 1989). Oleh karena itu, spesies dan tumbuhan biasanya
beradaptasi untuk suhu, kelembaban, intesitas cahaya tertentu sehingga dengan
perubahan tersebut akan memusanahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan.
Dengan demikian maka, fragmentasi habitat dapat mengancam keberadaan spesies
dengan cara : 1) memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan
kolonisasi, 2) pengurangan daerah jelajah hewan asli, 3) kondisi lingkugan
dapat berubah dan menjadi lebih umum terjadi, 4) memperbesar kerentanan fragmen
akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu (Patton,
1994).
Dampak
Fragmentasi Terhadap Spesies
Berbagai kegiatan yang telah dilakukan selama ini menyebabkan
terjadinya fragmentasi yang sangat besar, sehingga berdampak pada kehidupan
spesies satwa liar. Pada saat kegiatan fragementasi, banyak fauna lenyap
diantaranya adalah Singa Gunung (pada abad ke-20 walaupun sebagian dari daerah
Florida bertahan), termasuk Serigala (pada abad ke-19), Rusa (abad ke-19),
Merpati (abad ke-20) dan Burung Gading Pelatuk Berparuh (abad 20), dan banyak
fauna lainnya yang mengalami fragmentasi diantaranya adalah dari kelompok
insect, amphibi, dan burung. Hal ini merupakan salah satu gambaran empiris dari
dampak fragmentasi terhadap spesies.
Fragmentasi habitat juga dapat mengancam keberadaan
spesies dengan berbagai cara diantaranya adalah fragmentasi dapat memperkecil
potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies burung,
mamalia dan serangga pada daerah pedalam hutan tidak akan dapat menyeberangi
daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa atau predator,
walaupun daerah terbuka tersebut tidak begitu luas, akibatnya spesies yang
tidak dapat berkolonisasi lagi di daerah asalnya setelah populasi awalnya
hilang (Lovejoy et al. 1980 dalam Primack
et al. 1998). Primack et al. (1998) melanjutkan bahwa
penurunan kemampuan penyebaran hewan yang diakibatkan oleh fragmentasi habitat
dapat mempengaruhi pula kemampuan penyebaran tumbuhan yang bergantung padanya.
Hal ini berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang menghasikan buah berdaging (yang
menjadi makanan hewan) dan tumbuh-tumbuhan yang bijinya dapat melekat pada
hewan tertentu. Dengan demikian, fragementasi habitat yang terisolasi tidak
akan dikolonisasi oleh spesies asli yang sebenarnya tumbuh di daerah tersebut.
Jika pada fragmen spesies punah melalui proses populasi dan suksesi, spesies
baru tidak akan mengkolonisasi daerah ini oleh karena adanya penghalang
penyebaran, dan akhirnya jumlah spesies pada fragmen habitat tersebut akan
mengalami penurunan.
Selain itu, Wilcove (1987) dalam Morrison et al (1992),
mengemukakan ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : 1)
spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi, 2) kantong habitat
gagal menyediakan habitat, karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas
internal, 3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi
yang memiliki rasio lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik,
kemunduran genetik atau disfungsi sosial, dan 4) fragmentasi dapat mengganggu
hubungan ekologis yang penting, sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder
kepunahan dari hilangnya spesies kunci.
Menurut Kupfer et
al (2004), ada beberapa cara fragmentasi hutan yang mempengaruhi
keankeragaman hayati, yaitu 1) home range, 2) pengaruh isolasi habitat, 3)
kehilangan heterogenitas habitat, 4) pengaruh habitat berbagai fragmentasi, 5) edge
effect (efek tepi) dan 6) kepunahan sekunder.
Mekanisme Perluasan
Pembahasan sebelumnya telah
mengambil suatu pendekatan dari kotak hitam untuk fragmentasi. Pada bagian ini
pembahasan akan fokus pada mekanisme proksimat kepunahan, termasuk home range,
kehilangan heterogenitas habitat, efek fragementasi habitat disekitar, efek
tepi dan sekunder kepunahan.
Home Range (Daerah Jelajah)
Home range merupakan salah satu unsur yang paling utama
untuk setiap spesies baik itu spesies mamalia, insect, maupun burung. Menurut Primack et al. (1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah
pengurangan daerah jelajah dari hewan asli atau yang biasa dikenal dengan home
range. Kebanyakan spesies hewan, baik sebagai individu atau kelompok sosial,
harus memiliki daerah jelalajah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hewan-hewan ini harus dapat berjalan dari sumber makanan
yang satu kesumber makanan yang lain atau yang kadang-kadang tersedia
berdasarkan musimnya seperti buah, biji, rumput, genangan air dll. Suatu sumber
makanan mungkin saja dibutuhkan hanya beberapa minggu atau bahkan sekali pertahunnya.
Jika habitat terfragmentasi maka, spesies yang berada didalam satu fragmen
tidak dapat berjalan kefragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya.
Spesies yang merasakan kehilangan home range adalah hewan besar atau mamalia
besar, karena pada umumnya hewan besar membutuhkan daerah jelajah berkisar antara 6,5 – 7,6 km2
hutan untuk habitatnya (Tanner, 1942) salah satu contoh misalnya pagar dapat
menghalangi migrasi ilmiah yang dilakukan oleh hewan pemakan rumput seperti Bison di Amerika atau Wildebeest di Afrika. Selin itu, Singa
Gunung Jantan Amerika serikat bagian Barat membutuhkan daerah jelajah sekitar
lebih dari 400 km2 (Seiden-sticher dkk,. 1973), para Goshawk Eropa
memiliki membutuhkan habitat sekitar 30-50 km2
(Cramp and Simmons, 1979),
sehingga memaksa hewan-hewan untuk mengeksploitasi daerah yang
sebenarnya tidak sesuai sehingga menyebabkan mereka kelaparan dan mengakibatkan
pula penurunan kualitas daerah tersebut.
Pengaruh
isolasi habitat
Fragmentasi habitat dapat mempercepat
pengecilan atau pemusnahan populasi dengan
cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub
populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih
rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depression), genetic
drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran
kecil. Suatu habitat yang luas dapat
mendukung suatu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen
mungkin saja tidak ada satu fragmen pun mendukung sub populasi yang cukup untuk
bertahan (Primack, 1993).
Beberapa studi yang dilakukan di beberapa
pulau sebagai lokasi pengamatan, baik di kawasan temperate maupun tropis
menunjukkan hasil yang sama yaitu bila penurunan luas pulau berkisar 1 hingga
25 km2, seperti penurunan luas cagar alam dan suaka margastawa, maka
laju kepunahan jenis-jenis burung dalam kurun waktu 100 tahun dapat mencapai 10%-50%,
selain itu, penelitian Willis (1979) dalam
Wilson (1993), di kawasan hutan brazil dengan luas areal 0,2 hingga 14 km2
yang terisolasi oleh lahan pertanian, menunjukkan laju kepunahan burung
berkisar 14% sampai 64% dalam kurun waktu 100 tahun. Bentuk kegiatan lain yang
menyebabkan pemusnahan populasi adalah kegiatan perburuan yang dilakukan
di daerah Amerika Serikat bagian timur menyebabkan kehilangan atau punahnya
beberapa satwa liar diantaranya adalah beruang coklat, babi hutan dan serigala.
Menurut Harris (1984); Wilcove, et al.
(1986); Saunders (1991) aktivitas manusia menyebabkan terganggunya status dan
distribusi populasi serta habitat satwa liar dalam dua hal yaitu (1)
pengurangan total area dari habitat alami dan jumlah populasi sebagai akibat
kegiatan pembangunan dan (2) habitat alami dan kisaran distribusi spesies yang
sensitif mengalami fragmentasi ke dalam
potongan-potongan areal yang disebut
“pulau”. Konsekuensi dari
terbentuknya “pulau-pulau” habitat, menyebabkan kualitas habitat bagi spesies
bervariasi secara spasial dan kebanyakan spesies yang terdistribusi dalam
sistem metapopulasi dari populasi lokal yang terhubung oleh penyebaran. Ketahanan metapopulasi sangat tergantung pada
efisiensi penyebaran individual spesies dari satu patch ke patch
lain (Meffe et al, 1994).
Dengan demikian maka, semakin nyata bahwa bukti
fragmentasi habitat merugikan bagi banyak spesies dan dapat mempercepat
kepunahan keanekaragaman hayati regional dan global. Harris, (1984) telah
memberikan pembenaran empiris perlunya mengelola lanskap secara menyeluruh,
tidak hanya mengelola komponen-komponennya secara parsial.
Kehilangan Heterogenitas Habitat
Salah satu konsekuensi umum dari fragmentasi habitat
adalah hilangnya heterogenitas. Ada beberapa hamparan hutan atau padang rumput
yang seharusnya ditempati oleh habitat yang heterogenitas karena terjadi
pengurangan home range sehingga terjadi diskriminisai yang menyebabkan satwa
lain punah. Jika dalam suatu area didominasi oleh satu jenis maka akan
mempengaruhi jenis yang lainnya. Salah satu contoh, apabila dalam suatu area di
dominasi oleh jenis vegetasi tertentu maka kemampuan vegetasi tersebut dalam
berkompetitor sangat tinggi sehingga menyebabkan kerentatan terhadap gangguan
dari luar pun akan semakin tinggi. Kejadian yang dialami oleh burung penyanyi
yang hidup dan bersarang disekitar sungai Louisiana Timur Amerika Utara, dimana
burung tersebut mencari makanan di sekitar sungai yang bergerak dengan cepat untuk mencari
makanan ketika vegetasi disekitar sungai terbuka burung tersebut jarang lagi
ditemui di daerah sekitar sungai dimana dia mencari makanan. (Champman 1907,
Robbins 1980 ).
Persyaratan habitat untuk burung penyanyi adalah pada
wilayah yang paling jauh. Burung penyanyi tetap dapat memainkan peran utama
terhadap fragementasi. Lynch and Whigham (1984) mempelajari komunitas burung dan vegetasi dari 270 woodlots
di Maryland.
Mereka menemukan bahwa karakteristik struktural atau floristic vegetasi sangat
mempengaruhi kelimpahan masing-masing spesies burung lokal dan karakteristik vegetasi
akan bervariasi tergantung dengan ukuran hutan. Hasil kualitatif serupa tercatat
oleh Bond (1957). Dalam artian bahwa, semakin tinggi tingkat
heterogenitas vegetasi hutan maka tingkat keanekaragaman burung pun akan
semakin tinggi.
Ketika spesies memerlukan dua atau lebih tipe habitat
maka, fragmentasi tidak memungkinkan untuk bergerak diantara dua habitat
tersebut. Karr (1982a) mengemukakan bahwa telah dibuktikan kepunahan burung
tanah barro Pulau Colorado Panama. Dalam zona iklim sedang masalah ini akan
menimpa berbagai jenis organisme. Sejumlah amphibi memiliki dua kehidupan yaitu
didarat dan perairan, kehidupan amphibi ini menetap dan hidup didarat sebagai
habitatnya selama tiga tahun, dan akhirnya harus kembali ke air untuk
berkembang biak.
Kehilangan heterogenitas habitat di pandang sebagai
hilanganya habitat (habitat loss) sebagai akibat dari fragmentasi tetapi
fragmentasi dapat disertai dengan hilangnya habitat (berkurangnya jumlah)
seiring dengan pemecahan atau pembagian fragment habitat besar menjadi
fragment-fragment kecil lebih dan terisolasi (Hunter, 1997; Haila, 1999;
Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003). Menurut
Franklin et al. (2002) dan Fahrig (2003), fragmentasi bekerja dalam
empat cara, yaitu: (1) habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh kombinasi
hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil, (3)
pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil tanpa kehilangan habitat,
dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih
kecil serta penurunan kualitas habitat.
Pengaruh habitat berbagai
fragmentasi
Contoh kasus dalam
sebuah pulau besar adalah laut menjadi salah satu penghalang bagi setiap
spesies untuk melintas, kondisi tersebut memiliki potensi yang sangat riskan
karena hanya hewan-hewan kuat yang mampu melintas sedangkan yang tidak mampu
melintas sangat berpotensi untuk mati dan menjadi mangsa bagi hewan pemangsa
atau hewan karnivora. Dalam kasus lain sebuah fragmen laut digantikan oleh
tempat tinggal manusia atau lahan pertanian yang menjadi penghalang. Populasi
hewan akan berbahaya dalam membangun populasinya karena adanya faktor tersebut.
Contoh yang baik dalam penelitian ini adalah masalah yang datang dari burung
bernyanyi hewan dinegara bagian timur ini hewan ini awalnya bersatu karena
terjadinya fragementasi sehingga menyebabkan burung ini berpisah.
Populasi burung
penyanyi telah mengalami penurunan sejak akhir tahun 1940-an
(Robbins, 1979; Whitcomb et al., 1981; Wilcove, 1985a), sejumlah faktor telah
memberikan kontribusi terhadap penurunan ini, salah satu tingkat yang paling
tinggi adalah hewan pemangsa sarang (Wilcove, 1985b) dan paratisitme burung kepala coklat (Mayfield, 1977; Brittingham and
temple, 1983). Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah predator sarang telah
meningkat sebagai akibat dari kegiatan manusia yang merubah bentang lahan.
Aktivitas para predator sarang burung, seperti burung biru jay, rakun,
tupai abu-abu terjadi akibat kerapatan hutan yang tinggi mengalami penurunan
sehingga hewan yang hidupnya dihutan mulai memilih habitat yang dipinggiran
kota yang berdekatan dengan masyarakat (Flyger, 1970; Fretwell, 1972; Hoffman
and Gottschang, 1977). Sebelum kedatangan pemukim Eropa kehidupan Cowbird
sebagian besar memilih berada pada areal padang rumput, dimana ada mamalia
penggembala mereka mengikuti mamalia penggembalaan tersebut kemudian memakan
serangga yang berkicau, dengan adanya gangguan dari hutan gugur bagian timur
dan penggembalaan ternak, cowbird menyebar keseluruh bagian timur Amerika dan
Kanada (Mayfiled, 1977).
Tanpa kegiatan pelestarian tidak ada habitat yang kebal terhadap
aktifitas manusia, sehingga aktifivitas manusia dalam melakukan pengelolaan
satwa liar dikhawatirkan akan berdampak terhadap ekologi pengembangan di luar
kawasan lindung. To quote Janzen (1983) “No Park is an island” (taman bukan
merupakan suatu pulau)
Efek tepi (Edges effect)
Pengelolaan
satwa liar telah lama dilakukan pada tepi hutan dan ini sangat dipuji kebaikannya
(Dasmann,
1964, 1971; Yoakum and Dasmann, 1969; Burger 1973) seperti diulas oleh para
penulis tradisional diwaktu lalu. Tentu saja hewan buruan seperti rusa berekor
putih sangat cocok untuk hidup di tepi akan tetapi habitat tepi hutan
memberikan dampak negatif terhadap anggota flora dan fauna yang lain (hubell
and Forest, Chapter 10; Lovejoy et al., Chapter 12; Janzen Chapter 13).
Efek tepi diipercayai oleh Ranney
et all. (1981) bahwa benih inti dalam suatu kawasan hutan jika didominasi oleh
spesies benih tepi pada akhirnya akan mengubah kompisisi dari spesies inti tersebut
karena tanaman yang didominasi oleh spesies tepi akan berubah dari toleran
menjadi intoleran, sehingga Raney et ell.
Mengatakan bahwa cadangan hutan yang kecil mungkin tidak akan teratur dalam
mempertahankan populasi tanaman interior hutan.
Untuk tujuan
manajemen adalah penting diketahui bagaimana pengaruh efek tepi yang dirasakan.
Studi yang dilakukan oleh Ranney (1977) dan Wales (1972) menunjukan bahwa
perubahan vegetasi utama akan memperpanjang sekitar 10 – 30 m kedalam hutan,
namun untuk menempatkan sarang buatan perlu dibuatkan berbagai jarak pada tepi.
Wilcove (1985a) menunjukan bahwa peningkatan tepi terkait dalam predasi dapat
memperpanjang 300 – 600 m di dalam hutan. Seharusnya tidak mengejutkan efek
tepi hutan pada fauna akan melebihi efek bunga. Sebagai contoh burung gagak,
cowbirds tidak toleran terhadap bagian hutan, demikian pula dengan mamalia
seperti rakun, musang dan tupai sambil berkosentrasi pada kegiatan mereka di
tepi hutan mereka juga akan sering untuk masuk ke tengah hutan (Whitaker,
1980).
Fragmentasi
habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi, karena lingkungan mikro
daerah tepi berbeda dengan lingkungan makro dibagian tengah hutan. Beberapa
efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban
dan kecepatan angin secara drastis (Kapos, 1989, Beirregaard et al. 1992 dalam Primack et al. 1998).
Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m kedalam hutan (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Oleh karena, spesies tumbuhan dan hewan biasanya
teradaptasi untuk suhu, kelembaban, dan intesitas cahaya tertentu, perubahan
tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Spesies
tumbuhan liar yang toleran pada naungan didaerah beriklim sedang, spesies
pepohonan yang muncul belakangan pada suksesi didaerah tropik dan hewan-hewan
yang sensitif pada kelembaban seperti amfibi biasanya dapat dengan cepat
termusnahkan oleh fragmentasi habitat dan akirnya menyebabkan perubahan
komposisi spesies dari suatu komunitas.
Jika hutan telah
terfragmentasi, pertambahan kecepatan angin, rendahnya kelembaban dan tingginya
suhu pada daerah tepi akan menyebabkan daerah itu lebih mudah mengalami
kebakaran. Kebakaran hutan dapat
menyebar ke fragmentasi habitat dari tanah pertanian di dekatnya yang dibakar
secara teratur. Misalnya kegiatan pertanian
yang melakukan perladangan berpindah dengan melakukan pembakaran untuk membuka
lahan baru (Gomez-Pompa dan Kaus 1992 dalam Primack 1993). Penyebab dari bencana alam ini adalah
gabungan dari praktek-praktek pertanian dan tebang pilih, serta kegiatan
manusia lainnya (Leighton dan Wirawan 1986 dalam Primack et al. 1998).
Fragmentasi
habitat memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies
hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah
tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu
dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan (Paton
1994 dalam Primack, 1993). Di
Amerika Serikat, hewan-hewan omnivora seperti Raccoons, Sigung, dan blue jays
dapat bertambah jumlahnya di tepi
fragmen. Hewan-hewan ini dapat
memperoleh makanan baik dari habitat yang terganggu maupun dari daerah yang
tidak terganggu. Pemangsa yang agresif
ini akan memakan telur dan anak-anak burung hutan sehingga mencegah keberhasilan reproduksi dari banyak
spesies burung yang berada beberapa ratus meter dari daerah tepi. Burung parasit yang hidup di lapangan terbuka
dan tepi hutan mempergunakan habitat tepi sebagai basis untuk menginvasi bagian
dalam fragmen hutan. Disini, anak-anak mereka menghancurkan telur dan
mengganggu kehidupan anak-anak burung penyanyi.
Gabungan dari fragmentasi habitat, kenaikan pemangsa selama masa kecil
dan perusakan hutan tropik menyebabkan penurunan yang drastis pada spesies
burung migran di Amerika Utara, seperti red-eyed vireo, eastern wood pewee, dan
hooded warbler (Terborgh 1989 dalam Primack et al. 1998), walapun
belum ada kata sepakat mengenai penyebab sebenarnya serta seberapa jauh mereka
menyebar (James et al. sedang naik cetak dalam Primack dkk,
1998).
Primack (1993)
melanjutkan bahwa fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar menjadi
dekat dengan tumbuhan dan hewan peliharaan.
Penyakit spesies peliharaan ini akan dengan mudah menular ke spesies
lain yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tersebut. Keadaan yang sebaliknya dapat terjadi, yaitu
penyakit menular dari spesies liar ke spesies peliharaan bahkan juga ke
manusia.
Sekunder Kepunahan
Fragmentasi
sering menggangu banyak interaksi ekologi penting dari suatu komunitas,
termasuk hubungan predator dengan pemangsa, tanaman penyerbuk dan tanaman
parasit dan mutualisme (Gilbert, 1980; Theborgh and Winter, 1980).
Gangguan interaksi tersebut dapat menyebabkan kepunahan tambahan, sehingga
kadang-kadang disebut sebagai “sekunder kepunahan”. Biasanya sekunder kepunahan
berhubungan dengan kerusakan hutan tropis yang kompleks tetapi tentu masalah
ini tidak dikenal dalam zona iklim sedang. Sebagai contoh, woodlots kecil di negara
bagian timur akan bersatu atau saling mendukung jika ada pemangsa besar seperti
elang besar atau burung hantu atau populasi lain yang bisa diatur seperti
spesies omnivora, rakun, oppssum, tupai dan blue jays (Matthiae and stearns,
1981; Wnitcomb et al., 1981). Omnivora
ini, pada gilirannya akan memangsa telur burung penyayi hutan sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, tingkat predasi bersarang sangat kecil, sehingga ini mungkin
merupakan salah satu alasan mengapa burung penyanyi populasinya menurun
(Terbogh, 1974).
Sebuah contoh yang lebih rumit melibatkan
kepunahan kupu-kupu biru besar di Inggris
(Thomas,
1976; Ratcliffe, 1979). Kupu-kupu ini memiliki kisah hidup yang luar biasa
dimana dalam mengembangkan diri sebagai larva harus mengembangkan diri dalam
sarang semut merah Myrmica sabuleti,
selain itu pada tahun pertengahan 1950-an populasi tertekan.
Peneliti menyadari bahwa banyak
data fragmentasi yang telah dikumpulkan, dan sekunder kepunahan ini merupakan
bukti yang umum terjadi dimasyarakat, sehingga pencegahan tersebut memerlukan
studi synecological yang melibatkan
spesies terancam, dengan demikian untuk mengatasi berbagai hal tersebut perlu
dibuat sebuah konsep tentang manajamen fragmentasi.
Manajemen Fragmentasi
Fragmentasi hutan saat ini
tidak bisa dipungkiri sudah sangat menghawatirkan karena akibat semakin luasnya
sendi-sendi kehidupan manusia, meningkatnya frekuensi dan intensitas bajir,
tanah longsor serta kekeringan tetapi juga kelestarian keanekaragaman hayati
yang merupakan penyangga kehidupan manusia.
Ketika hutan alam digantikan
oleh hutan tanaman, mungkin saja masih dapat
berfungsi sebagai habitat satwa liar meskipun kualitasnya sudah pasti
menurun bagi satwa spesies hutan alam dan spesialis interior hutan. Perkebunan
atau pertanian tanaman keras mungkin akan sebagai koridor penghubung dua
habitat yang terfragmentasi, tetapi pertanian dan sawah akan menjadi penghalang
penjelajahan satwa, khususnya mamalia meskipun bisa saja ditembus pada tempat
dan waktu tertentu. Pemukiman dan jalan raya yang ramai dengan lalu lalang
kendaraan mungkin tidak dapat dilewati sama sekali oleh satwa liar untuk
menyeberang kekantong habitat sekitarnya.
Pentingnya keutuhan dan
kesinambungan habitat bagi konservasi satwa liar, maka para pengambil keputusan
harus mempertimbangkan dampak dari fragmentasi hutan yang mungkin tidak tampak
dalam jangka pendek tetapi memberikan pengaruh jangka panjang, sehingga
kegiatan pembangunan yang melibatkan kawasan hutan harus benar-benar
mempertimbangkan aspek ekologi dalam skala lansekap dengan memperhatikan
kekompakan dan kesinambungan habitat. Dengan perkataan lain jika kegiatan
pembangunan mengakibatkan pemecahan habitat besar menjadi habitat yang lebih
kecil, maka harus dibuat koridor yang menjadi penghubung habitat-habitat kecil
kehabitat asal (sebelum terjadi pemecahan).
Koridor penghubung antar
fragmen hutan dapat berbentuk vegetasi di sempadan sungai dan sempadan pantai,
vegetasi hutan tanaman, vegetasi perkebunan dan tanaman keras lainnya, untuk
koridor satwa kecil menyeberangi jalan dapat berupa gorong-gorong atau jembatan
penyeberangan yang dibuat sedemikian rupa, sehingga terlihat alami. Koridor
dapat merupakan lahan milik Negara, lahan miliki swasta (seperti perkebunan)
dan lahan milik rakyat.
Apabila koridor tidak
mungkin dibuat, maka agar terjadi pertukaran genetik antara populasi yang
terisolasi dapat dilakukan dengn translokasi, dimana satwa yang akan
dipertukarkan ditangkap untuk kemudian dipindahkan kelokasi tujuan. Namun,
untuk satwa yang bersifat teritorial, hal ini akan menimbulkan masalah karena
penghuni lama bisa melakukan penolakan, sehingga perkelahian yang menyebabkan
kematian atau salah satu individu yang kalah akan keluar kelahan pertanian atau
kampung terdekat dan menjadi gangguan bagi manusia.
Translokasi bagi satwa yang
bersifat teritorial sangat dimungkinkan jika individu-individu satwa dari
populasi yang telah melewati daya dukung dipindahkan kelokasi habitat yang
tidak berpenghuni spesies yang sama, hal ini tentunya setelah dilakukan studi
kelayakan habitat dan daya dukung habitat. Untuk habitat kecil, yang memiliki
daya dukung rendah terhadap populasi yang ada dan memiliki interior kecil serta
memiliki pengaruh tepi (edge effect) yang besar, maka dibuat zona perluasan
habitat atau zona penyangga disekitarnya. Zona perluasan habitat dapat merupakan
kawasan hutan Negara atau lahan milik rakyat yang dibeli. Prinsipnya zona
perluasan habitat ini atau zoa penyangga ini dapat berfungsi menjadi penyangga
agar satwa didalam fragmen hutan tidak keluar kekebun atau perkampugan
disekitar dan zona tersebut dapat menambah luas ruang habitat dan memperkaya
keanekaragaman habitat serta meningkatkan kualitas habitat bagi satwa liar.
Mengingat hutan memiliki
peranan yang paling besar dalam proses terjadinya fragmentasi salah satunya
adalah berperan sebagai tempat habitat alternatif atau penyagga habitat satwa
liar maka upaya yang harus dilakukan adalah menjaga hutan tetap lestari dan
tetap memperhatikan ekologi, jika akan melakukan penebangan pada hutan alam
harus dilakukan pengaturan rotasi karena jangan sampai akan terjadi fragmentasi
secara temporal serta menurunkan kualitas dan kuantitas satwa liar.
Assalamualaikum.
BalasHapusMateri yang dituliskan di blog ini sangat berguna.
terima kasih atas tulisan ini yah.
saya izin copy bagian "fregmentasi habitat dan Koridor" untuk tugas kuliah saya.
Wassalam.